Mahasiswa Kristen dalam Pusaran ‘Contra Nationalism’
Tumbuhnya benih konflik yang menggunakan baju agama belakangan ini mengurai tanya dalam benak para pecinta persatuan bangsa. Ditambah lagi ironi dari simbol suku yang masih dijadikan sebagai potensi tradisi perang antar kampung yang memang tak dapat dibantah. Serta aksi teror oleh pemikir-pemikir separatis yang mengatas namakan kelompok masih saja menjadi tantangan dan menjadi tugas penting dari bangsa dan negara ini. Bangsa ini seakan telah sukses digoyang dengan ke-bhineka-an yang tidak lagi berlandaskan kesamaan nasib dan rasa dalam sejarah. Akhirnya kita hanya sibuk dalam konflik dan meninggalkan pemikiran akan perkembangan negara ini kedepannya.
Sejarah pahit kekerasan akan bangsa Indonesia dan “politik pecah belah” kaum kolonial seakan mulai kabur posisinya apakah benar ingin dihilangkan atau justru ingin diulang. Pemahaman yang sempit akan kebenaran sejarah yang telah lama diputarbalikkan oleh penguasa orde baru menjadi salah satu pemicu dekadensi kebangsaan. Bukankah seharusnya kita sudah mampu mengartikan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang terdiri dari perbedaan warna yang hanya mampu disatukan oleh bungkusan kesamaan riwayat. Kemudian konsensuslah yang menjadikan Indonesia menjadi sebuah bangsa, tanpa ada pemaksaan di dalamnya.
Bila negara-negara Eropa seperti Jerman membangkitkan nasionalismenya dengan mengagungkan negaranya yang jauh lebih hebat dari negara lain. Kemudian, beberapa negara timur dan barat seperti Roma dan Arab yang mendasarkan agama sebagai pemicu nasionalisme. Dan Yahudi yang terbentuk nasionalismenya oleh kesamaan agama dan keturunan. Lalu apakah kita paham sebenarnya apakah yang telah mempersatukan bangsa Indonesia yang heterogen ini?
Ernest Renan seorang pujangga pertama yang menyatakan bahwa asas akal dari Bangsa adalah perjalanan riwayat yang dirasakan bersama serta kemudian adanya keinginan hidup menjadi satu. Kemudian negara pluralis seperti Indiapun melahirkan Gandhi dengan pemikirannya akan paham kebangsaan yang beliau katakan dengan “my nationalism is humanity.” Inilah yang diadopsi oleh para pemikir bangsa kita dahulu hingga memilih istilah bangsa. Dengan tidak meninggikan satu kelompok, suku, atau agama manapun. Semuanya didasarkan akan pemahaman bahwa manusia pada dasarnya adalah sama. Mencintai kemanusiaan berarti mencintai bangsa. Dan perlu dipahami bangsa ini tercipta bukan melalui perjuangan satu kelompok saja, melainkan dibangun oleh pemikir bangsa yang berbeda-beda latar belakangnya.
Bila ditanyakan pada kita sebagai mahasiswa mengenai kondisi bangsa ini sudah barang tentu kita akan menjawab dengan berbagai keprihatinan. Pertikaian dan intoleransi yang kurang bijak itu tidak lagi terjadi pada daerah-daerah pedalaman saja melainkan telah merambah masyarakat perkotaan. Bahkan dalam tataran pemerintahan hal inipun sudah tidak asing lagi. Apalagi masalah agama telah banyak menjadi potensi perpecahan dengan diawali perdebatan akan hal ihwal agama masing-masing. Serang sana, serang sini, mediapun menjadi alat pemecah diantara masyarakat. Agama yang pada dasarnya menjadi hubungan pribadi terhadap Tuhannya telah ditransformasi menjadi alat pembenaran akan tindakan kriminal yang kerapkali dipertontonkan.
Paham Kebangsaan yang banyak digelorakan sudah dirasa asing dan hanya diletakkan sebagai teori yang dirasa utopis. Kemanusiaan yang jadi landasan nasionalisme bangsa Indonesiapun telah lama dijadikan keset kaki yang dengan mudah saja diinjak untuk membersihkan kotoran di kakinya. Apa yang telah dipertunjukkan oleh masyarakat dewasa ini akan tetap menjadi tradisi bila tak ada yang mau membangkitkan kembali rasa nasionalisme yang telah lama terpendam dalam lorong sunyi.
Sebagai seorang mahasiswa dan sebagai orang kristen dimanakah posisi kita sebenarnya? Apakah kita justru nyaman dalam bagian kita dan terkesan menutup mata akan kondisi bangsa saat ini? Atau kita hanya akan bersuara dan bergerak ketika lahan kepentingan kita mulai diganggu dan kita mulai digusur dari zona nyaman? Pertanyaan demi pertanyaan akan timbul dalam benak kita. Namun siap dan beranikah kita menjadi penunjuk jalan yang akrab kita sebut dengan KEBENARAN.
Nasionalisme bukanlah sesuatu yang asing bagi Kristen karena Firman Tuhanpun telah lama menyatakan paham ini bagi kita orang percaya. Ayat alkitab yang paling populer yang mampu menjelaskan pernyataan di atas adalah Yeremia 29:7 yang berisi, “Usahakanlah kesejahteraan kota kemana kamu aku buang, dan berdoalah untuk kota itu kepada Tuhan, sebab kesejahteraannya adalah kesejahteraanmu.” Tuhan telah mengajarkan kita untuk mencintai tanah yang kita tempati sehingga sebenarnya tidak ada alasan kita untuk tetap diam ketika persoalan bangsa akan konflik perbedaan masih saja tumbuh dalam tanah air.
Bila kita juga mencoba memahami nasionalisme bangsa Indonesia yang dilandaskan pada humanisme, tentunya kita sebagai kristen sudah lebih paham bahwa Yesus adalah kasih dan pecinta kemanusiaan, Dia bahkan menyuruh kita untuk mengasihi musuh-musuh kita. Dalam hal ini sudah selayaknya kita tidak lagi tinggal dalam perdebatan panjang akan pentingnya nasionalisme melainkan kita sudah harus mampu berusaha mencari solusi perpecahan bangsa.
Mencintai bangsa dan memberikan diri kita untuk perkembangan bangsa Indonesia sudah menjadi sebuah keniscayaan. Dalam lingkup yang lebih kecil kemampuan kita untuk mengelola perbedaan juga penting untuk diuji. Jangan sampai kita hanya akan membela pluralisme ketika kita menjadi minoritas. Dan kita memancarkan kebencian mendalam ketika ada kelompok yang menyerang kelompok kita. Berbicara nasionalisme kita tentunya akan membicarakan diri kita sendiri, apakah memang memahami nasionalisme secara substantif ataukah justru sporadis.
Lahan empuk seorang mahasiswa Kristen untuk menunjukkan rasa nasionalisme adalah kampus tempat kita menempuh pendidikan. Bagaimana kita bisa menebarkan kasih bukan hanya pada sesama kristen melainkan kita mampu memberi kasih atau humanisme itu bagi sesama manusia. Bila persoalan perbedaan kita telah selesai dengan mengutamakan humanity, tentunya kecintaan akan bangsa sudah tentu tidak akan terabaikan.
Kecintaan akan bangsa menjadi tuntutan bagi seorang pengikut Kristus. Untuk mengaplikasikannya tentunya sebagai mahasiswa Kristen kita harus membuang jauh-jauh eksklusifitas. Bagaimana bisa kita berbicara nasionalisme ketika kita masih saja nyaman mengembangkan diri dan kelompok sendiri. Egoisme yang dibalut dengan justifikasi rohani yang kita bangun seringkali menjadi alat untuk tetap tinggal dalam comfort zone. Hal inilah yang perlu kita coba kritisi dan tinjau kembali. Benarkah apa yang selama ini telah berlangsung dalam kelompok mahasiswa di dalam kampus.
Nasionalisme yang dibangun oleh bangsa berdasarkan riwayat sejarah sudahlah kita pahami perbedaannya dengan chauvinisme yang banyak diadopsi oleh Barat. Sehingga menurut kami kita tidak perlu mengharamkan ini. Dasar nasionalisme negara kita yang perlu kita pahami sekali lagi adalah humanisme yang jelas-jelas tidak bertentangan dengan ajaran kekristenan.
Bila kondisi bangsa saat ini telah menunjukkan degradasi akan rasa nasionalisme, hingga mengarahkan bangsa ini pada perpecahan, sudah selayaknya kita sebagai mahasiswa dan orang Kristen merasa risih. Risih yang akan membawa kita pada proses ideasi untuk memberikan pemikiran-pemikiran baru bagi penyelesaian persoalan kebangsaan. Dan pemikiran yang tidak hanya selesai pada tataran teori melainkan mampu kita aplikasikan dalam kehidupan berbangsa dan bertanah air.
Tentu gelar ‘maha’ yang kita sandang saat ini bukan tanpa beban berarti. Seruan sebagai ‘agen perubahan’ masih tetap menjadi milik kita. Namun apakah mahasiswa sekarang masih menyadari arti dari seruan itu? Silahkan setiap kita menjawab dalam hati pertanyaan tersebut.
Banyak lagi pertanyaan yang seharusnya kita jabarkan dalam tulisan ini namun alangkah lebih baik apabila kita mencari solusi dari setiap pertanyaan tersebut. Sebagai mahasiswa tentu kita dapat melihat persoalan nasionalisme ini dari sudut pandang disiplin ilmu yang kita geluti.
Sebagai mahasiswa di bidang Ilmu Ekonomi misalnya kita dapat melihat persoalan ini dengan jelas dimana pada saat ini perekonomian negara kita sangat tergantung pada hutang luar negeri yang mengakibatkan kita tidak percaya lagi pada kemampuan kita sendiri, dan untuk mencegah hal itu lagi mari mulai sekarang kita memahami dan mempelajari perekonomian nasional bahkan internasional. Dengan begitu kita dapat mengetahui kebijakan ekonomi yang mana yang dapat berpihak pada bangsa ini nantinya.
Sebagai mahasiswa di bidang Ilmu Hukum misalnya melihat persoalan nasionalisme dari segi sejarah maupun dari segi lain. Kita mengetahui banyaknya kasus korupsi di negara ini. Jika para pejabat tersebut memiiki nasionalisme yang tinggi tidak akan mungkin mereka rela menilap uang rakyat itu ke dalam kantong nya sendiri. Untuk mencegah hal-hal tersebut mari kita mulai dari hal-hal kecil saja. Menjaga integritas dan belajar dengan baik misalnya.
Semua masyarakat Indonesia juga harus mulai berbangga dengan bangsanya sendiri. Sekarang banyak budaya yang hampir punah atau mati karena tidak ada lagi yang mau mengembangkannya. Mencintai budaya dianggap kampungan atau kurang modern dan sebagainya namun kita lupa bahwa Jepang mempertahankan budayanya di tengah-tengah globalisasi. Mereka bangga bahasanya dan tetap melaksanakan tata kramanya. Pertanyaannya apakah bangsa kita telah melakukan hal serupa?
Itulah cermin dari keadaan kita saat ini yakni kita hari ini berada dalam lingkungan cita kebangsaan di titik nol. Lalu apa yang harus kita lakukan? Mulai saat ini mulailah mencintai bangsa ini. Kita harus berpikir bahwa seorang Nasrani sejati sepatutnya memiliki cita kebangsaan yang sejati pula. Kita adalah anak Allah dan kita juga adalah anak bangsa, sehingga hidup dan karya-karya kita haruslah untuk Tuhan dan bangsa ini.
Salam, P2K UNPAD Bidang Sosial (PMK FE-PAAP UNPAD, PMK FISIP UNPAD, dan PMK FH UNPAD).
(Sebuah artikel dari PMK FE, PMK FISIP dan PMK FH Unpad dalam rangka Hari Kemerdekaan Indonesia).
Komentar
Posting Komentar