Ambang Batas dalam PILPRES dan PEMILUKADA dihubungkan dengan Sistem Pemerintahan, Sistem Kepartaian, dan Sistem Pemilu yang Dianut oleh Indonesia

AMBANG BATAS (TRESHOLD) DALAM PILPRES DAN PEMILUKADA DIHUBUNGKAN DENGAN SISTEM PEMERINTAHAN, SISTEM KEPARTAIAN, DAN SISTEM PEMILU YANG DIANUT OLEH INDONESIA[1]


Sebelum menguraikan mengenai ambang batas dalam Pilpres dan Pemilukada yang menjadi pokok bahasan dalam tulisan ini, terlebih dahulu Penulis akan menjelaskan teori mengenai sistem pemerintahan, sistem kepartaian, dan sistem pemilu untuk mengidentifikasi sistem yang dianut oleh Indonesia.
I.            Sistem Pemerintahan

Menurut Prof. Bagir Manan, sistem pemerintahan merupakan suatu pengertian yang berkaitan dengan tata cara pertanggungjawaban penyelenggaraan pemerintahan eksekutif dalam suatu tatanan negara demokrasi.[2] Prof. Jimly Asshiddiqie berpendapat bahwa sistem pemerintahan berkaitan dengan pengertian regeringsdaad penyelenggaraan pemerintahan eksekutif dalam hubungannya dengan fungsi legislatif.[3] Menurut Prof. Mahfud M.D., sistem pemerintahan negara adalah mekanisme kerja dan koordinasi atau hubungan antara ketiga cabang kekuasaan yaitu legislatif, eksekutif dan yudikatif.[4] Sistem pemerintahan yang dikenal di dunia secara garis besar dibedakan dalam tiga macam, yaitu sistem presidensial (presidential system), sistem parlementer (parliamentary system), dan sistem campuran (mixed system atau hybrid system) yang mengandung unsur  dua sistem pemerintahan (presidensial dan perlementer).[5] 

Sistem Parlementer

Sistem parlementer adalah sistem pemerintahan yang menggabungkan kekuasaan eksekutif dan kekuasaan legislatif dalam suatu lembaga pemegang kedaulatan rakyat yang bernama parlemen.[6] Kedudukan kepala negara biasanya dipegang oleh raja, ratu, presiden, ataupun sebutan lain yang sesuai dengan bahasa resmi yang dipakai di negara bersangkutan, sedangkan jabatan kepala pemerintahan biasanya disebut perdana menteri (prime minister).[7] Fungsi perdana menteri dalam kegiatan pemerintahan adalah menjalankan kekuasaan tata usaha negara dalam lingkungan jabatan eksekutif sedangkan fungsi presiden sebagai kepala negara hanya bersifat simbolik dalam organisasi negara.[8] C.F. Strong, membedakan kedua jabatan tersebut yakni kepala negara disebut sebagai nominal executive, sedangkan kepala pemerintahan disebut sebagai real executive.[9]

Ciri sistem  parlementer menurut Prof. Bagir Manan yakni adanya dua kelembagaan eksekutif, yaitu yang menjalankan dan bertanggung jawab atas penyelenggaraan pemerintah dan eksekutif yang tidak dapat dimintai pertanggungjawaban atas penyelenggaraan pemerintahan.[10]  Eksekutif pertama ada di tangan kabinet atau dewan menteri sedangkan eksekutif kedua adalah kepala negara yaitu raja bagi kerajaan dan presiden bagi republik.[11] Kabinet atau dewan menteri bertanggung jawab kepada badan perwakilan rakyat, sedangkan kepala negara tidak dapat diganggu gugat.[12] Maksud bertanggung jawab yakni eksekutif dapat dijatuhkan melalui mosi tidak percaya oleh badan perwakilan rakyat.[13]

Douglas V. Verney mengemukakan sejumlah prinsip pokok yang dipraktikan dalam sistem parlementer antara lain: hubungan antara lembaga parlemen dan pemerintah tidak murni terpisahkan; fungsi eksekutif dibagi ke dalam dua bagian,  sebagaimana yang diistilahkan oleh C.F. Strong yaitu real executive dan nominal executive; kepala pemerintahan diangkat oleh kepala negara, kepala pemerintahan mengangkat menteri-menteri sebagai satu kesatuan institusi yang bersifat kolektif, menteri adalah atau biasanya adalah anggota parlemen;  pemerintah bertanggung jawab kepada parlemen karena  pemerintah tidak dipilih oleh rakyat secara langsung sehingga pertanggungjawaban kepada rakyat juga bersifat tidak langsung, yaitu melalui parlemen, kepala pemerintahan dapat memberikan pendapat kepada kepala negara untuk membubarkan parlemen, dianutnya prinsip supremasi parlemen sehingga kedudukan parlemen dianggap lebih tinggi daripada bagian-bagian dari pemerintahan, serta kekuasaan negara terpusat pada parlemen.[14] 

Sistem Presidensial

Karakteristik sistem presidensial adalah badan perwakilan tidak memiliki supremacy of parliament karena lembaga tersebut bukan lembaga pemegang kekuasaan negara. Untuk menjamin stabilitas sistem presidensial, presiden dipilih, baik secara langsung atau melalui perwakilan, untuk masa jabatan tertentu, dan presiden memegang sekaligus jabatan kepala negara dan kepala pemerintahan.[15] Sebagai kepala pemerintahan dan satu-satunya kepala eksekutif, presiden mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri negara yang berfungsi sebagai pembantu presiden dan memegang kekuasaan eksekutif dalam bidang masing-masing.[16]  Kabinet tidak bertanggungjawab secara kolektif, tetapi tiap-tiap menteri bertanggung jawab secara individual kepada presiden.[17]

Douglas V. Verney mengemukakan beberapa prinsip pokok yang bersifat universal dalam sistem presidensial, antara lain: terdapat pemisahan kekuasaan yang jelas antara cabang kekuasaan eksekutif dan legislatif, presiden merupakan eksekutif tunggal; kekuasaan eksekutif presiden tidak terbagi, yang ada hanya presiden dan wakil presiden saja; kepala pemerintahan adalah sekaligus kepala negara atau sebaliknya kepala negara adalah sekaligus merupakan kepala pemerintahan; presiden mengangkat para menteri sebagai pembantu atau sebagai bawahan yang bertanggung jawab kepadanya; anggota parlemen tidak boleh menduduki jabatan eksekutif dan sebaliknya; presiden tidak dapat membubarkan dan memaksa parlemen; jika dalam sistem parlementer berlaku supremasi parlemen, maka dalam sistem presidensial berlaku prinsip supremasi konstitusi. Oleh karena itu, pemerintahan eksekutif bertanggung jawab kepada konstitusi, eksekutif bertanggung jawab kepada rakyat yang berdaulat, dan kekuasaan tersebar serta tidak terpusat. [18]
  
Prof. Bagir Manan dan Prof. Jimly Asshidiqie berpendapat bahwa sistem pemerintahan yang dianut oleh Indonesia adalah sistem presidensial karena telah memenuhi ciri-ciri utama sistem tersebut.[19]  Demikian pula Prof. Moh. Mahfud. M.D. berpendapat bahwa secara konstitusional Indonesia menganut sistem presidensial dengan merujuk pada ketentuan Pasal 17 ayat (1) dan (2) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.[20]

II.            Sistem Kepartaian

Sistem kepartaian menunjuk kepada perilaku partai-partai sebagai bagian dari suatu sistem, yaitu bagaimana partai politik berinteraksi satu sama lain dan berinteraksi dengan unsur-unsur lain dari sistem itu.[21] Maurice Duverger membagi sistem kepartaian dalam tiga bentuk, yaitu sistem partai tunggal, sistem dwi partai dan sistem multipartai.[22]
1.      Sistem Partai Tunggal
Prof. Sri Soemantri berpendapat bahwa sistem satu partai tunggal merupakan sistem kepartaian dimana dalam suatu negara hanya ada satu partai politik yang menjalankan peranan menentukan, baik yang dengan tegas diakui dalam undang-undang dasarnya sebagai satu-satunya partai politik yang boleh ada, maupun yang karena faktor-faktor tertentu hanya ada satu partai politik saja.[23] Prof. Miriam Budiardjo menjelaskan bahwa istilah sistem partai tunggal dipakai untuk partai yang merupakan satu-satunya partai dalam suatu negara maupun untuk partai yang mempunyai kedudukan dominan di antara beberapa partai lain.[24]
2.      Sistem Dwi Partai
Sistem dwi partai diartikan bahwa ada dua partai di antara beberapa partai, yang berhasil memenangkan dua tempat teratas dalam pemilihan umum secara bergiliran sehingga memiliki kedudukan yang dominan.[25]  Prof. Sri Soemantri menambahkan bahwa di antara dua partai politik tersebut, ada satu partai politik yang menguasai suara terbanyak mutlak di parlemen.[26] Pada umumnya, sistem dwi partai muncul karena dilaksanakannya sistem pemilihan umum distrik.
3.      Sistem Multipartai (Sistem Banyak Partai)
Sistem multipartai adalah sistem kepartaian dimana dalam negara terdapat bermacam-macam partai politik yang mempunyai wakil dalam parlemen dimana tidak ada satu partai politik pun yang menguasai suara mayoritas di dalamnya.[27] Pada umumnya, keanekaragaman budaya politik suatu masyarakat mendorong pilihan ke arah sistem multipartai.[28] Perbedaan-perbedaan yang meliputi perbedaan ras, agama atau suku bangsa mendorong kelompok masyarakat untuk cenderung menyalurkannya dalam suatu wadah tertentu. Dengan demikian, sistem multipartai dianggap lebih sesuai dengan pluralitas budaya dan politik dalam suatu negara.[29] 

Berdasarkan ciri-ciri yang dimiliki masing-masing sistem kepartaian di atas, maka Indonesia termasuk negara yang menganut sistem multipartai. 

III.            Sistem Pemilihan Umum

Pemilihan umum pada pokoknya berkisar pada dua prinsip, yaitu:[30]
1.      Single-member constituency (satu daerah pemilihan memilih satu wakil)[31] Sistem ini disebut juga sistem distrik.
2.      Multi-member constituency (satu daerah pemilihan memilih beberapa  wakil). Sistem ini biasanya disebut sistem perwakilan berimbang atau sistem proporsional.[32] Dalam sistem proporsional, satu daerah pemilihan memilih beberapa wakil. Satu wilayah dianggap satu kesatuan dimana jumlah kursi dibagi sesuai jumlah suara yang diperoleh oleh kontestan secara nasional tanpa menghiraukan distribusi suara itu.
Sebagaimana tercantum dalam Pasal 5 ayat (1) UU No. 10 tahun 2008 dan demikian pula dalam Pilpres, Indonesia menerapkan sistem proporsional.
Berdasarkan uraian diatas, maka sistem yang dianut oleh Indonesia dapat digambarkan sebagai berikut:
Sistem Pemerintahan
Sistem Kepartaian
Sistem Pemilu
Presidensil
Multipartai
Proporsional

IV.            Pembahasan

Ambang batas (treshold) dalam Black’s Law Dictionary didefinisikan sebagai “the number or proportional of votes needed for election”. Arend Lijphart dalam bukunya “Patterns of Democracy: Government Forms and Performance in Thirty-six Countries” mendefinisikan “threshold” sebagai “a minimum number of seats won in the lower-tier district and/or a minimum percentage of the total national vote”.[33]
Dalam pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) di Indonesia, disyaratkan pasangan calon harus diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memperoleh kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi Dewan Perwakilan Rakyat[34] atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah nasional[35] dalam Pemilu anggota Dewan Perwakilan Rakyat sebelum pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.[36] Dalam pemilihan umum kepala daerah (Pemilukada), pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik dan dapat pula berasal dari calon perseorangan.[37]  Partai politik atau gabungan partai politik tersebut harus memenuhi persyaratan perolehan sekurang-kurangnya 15 % (lima belas persen) dari jumlah kursi DPRD atau 15 % (lima belas persen) dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan umum anggota DPRD di daerah yang bersangkutan.[38]  Akibatnya, partai politik yang tidak memenuhi ambang batas tersebut harus berkoalisi dengan partai lain untuk dapat mengusulkan pasangan calon Presiden dan/atau Wakil Presiden maupun Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
Secara teoretis,  koalisi merupakan salah satu pranata yang dikenal dalam sistem parlementer sehingga seharusnya tidak diterapkan di Indonesia yang menganut sistem presidensial.  Dalam praktiknya, terkadang pranata ini berakibat negatif terhadap jalannya pemerintahan. Benjamin Reilly[39] dari Australian National University menyebutkan beberapa kelemahan koalisi. Pertama, tendency towards ponderous or immobile decision-making karena lebih mudah mengalami executive deadlock  yang disebabkan oleh ketidakmampuan partai-partai koalisi untuk mencapai kesepakatan mengenai isu-isu tertentu. Kedua, lack of accountability and discipline karena sulit bagi para pemilih untuk menentukan siapa yang bertanggung jawab atas suatu keputusan dan menilai kinerja pemerintahan. Ketiga, propensity towards weak or fragmanted government  karena dalam situasi yang terfragmentasi, eksekutif cenderung lemah dan tidak stabil sehingga melemahkan keberlanjutan dan arah kebijakan publik.
David Altman dalam The Politics of Coalition Formation and Survival in Multiparty Presidential Democracies: The Case of Uruguay 1989-1999, mengemukakan bahwa coalitions are not institutionally necessary dalam sistem presidensial karena tidak kondusif terhadap ‘political cooperation’.[40] Selain itu, sebagaimana dikemukakan oleh Scott Mainwaring bahwa ada tiga kelemahan koalisi dalam sistem presidensial. Pertama, dalam sistem presidensial, presiden membentuk sendiri kabinetnya, sementara partai politik mempunyai komitmen yang rendah dalam mendukung presiden. Kedua, anggota legislatif dari partai politik yang mempunyai menteri di kabinet tidak mendukung pemerintah sepenuhnya. Ketiga,  secara umum, keinginan partai politik membubarkan koalisi lebih kuat dalam sistem pemerintahan presidensial. [41]
Selain itu, koalisi dibentuk sebelum Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden maupun Pemilihan Kepala Daerah dengan tujuan untuk memenangkan calon yang diusung. Tawar-menawar antar partai yang berkoalisi justru mengenai pembagian jabatan menteri dan jabatan lainnya di tingkat nasional maupun di tingkat daerah tanpa disertai perumusan  platform bersama, padahal menteri-menteri dan pejabat tersebut berasal dari partai politik yang berbeda dengan konstituen dan kepentingan yang berbeda pula. Profesionalisme yang semestinya menjadi dasar pengisian jabatan dilemahkan oleh pengaruh kekuatan partai mitra koalisi. Keadaan ini berekses pada kinerja pemerintahan yang terbentuk. Apalagi koalisi yang dibentuk tidak menjamin bahwa partai-partai yang tergabung dalam koalisi yang memiliki wakil di badan legislatif akan selalu mendukung program-program pemerintah.  
Namun di sisi lain, dalam konteks Indonesia yang merupakan negara yang plural, maka keanekaragaman budaya politik mendorong ke arah multipartai.[42] Sistem banyak partai menyebabkan fragmentasi kekuatan parpol semakin luas. Selain itu, sistem pemilu yang dianut  oleh Indonesia saat ini  yaitu proportional representation juga tidak memungkinkan untuk menghasilkan majority government.[43] Sebagaimana dikemukakan oleh Jean Blonde  bahwa proportional representation kurang mendorong partai untuk berintegrasi dan memperluas fragmentasi sehingga berujung pada perpecahan yang menyebabkan bertambahnya jumlah partai.[44] Untuk menghindari terjadinya fragmentasi yang luas tersebut,  maka perlu diadakan penyederhanaan jumlah partai peserta pemilu. Penyederhanaan tersebut dapat dilakukan dengan menerapkan ambang batas, baik electoral threshold untuk membatasi jumlah partai peserta pemilu dan parliamentary threshold  untuk membatasi  jumlah partai yang memperoleh kursi di badan legislatif.

Dengan kata lain, penerapan ambang batas dalam Pilpres dan Pemilukada dapat berekses negatif di satu sisi karena mendorong pembentukan koalisi yang justru dapat melemahkan sistem presidensil yang dianut oleh Indonesia. Namun disisi lain, sistem multipartai dan sistem proportional representation  yang menyebabkan fragmentasi kekuatan partai politik semakin luas dan tidak memungkinkan untuk membentuk “majority government” “mengharuskan” untuk diterapkannya ambang batas dalam Pilpres dan Pemilukada dalam rangka untuk menyederhanakan jumlah partai politik yang ada.

Keadaan tersebut di atas dapat digambarkan sebagai berikut:

 
Apa pendapat saudara?
Adakah yang harus diperbaiki dalam sistem ketatanegaraan Indonesia?
Kita diskusikan bersama ...


[1] Fristian Shamsapeel Griec Humalanggi
[2] Bagir Manan, 2005, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Pusat Studi Hukum Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, hlm. 250.
[3] Jimly Asshidiqie, 2007, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Pasca Reformasi,  Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, hlm. 311.
[4] Anton Paraptono, “Sistem Pemerintahan”, www.unisosdem.org, diunduh 13/09/2009, 21.30 WIB.
[5] Jimly Assiddiqie, op.cit, hlm. 312.
[6] Sofian Effendi, “Mencari Sistem Pemerintahan Negara”, sofian.staff.ugm.ac.id., diunduh 12/09/2009 ,  22.30 WIB.
[7] E.Utrecht, 1962, Pengantar Hukum Administrasi Negara, Ichtiar, Jakarta, hlm. 314.
[8] Jimly Asshiddiqie, op.cit., hlm. 312.
[9]Ibid.
[10] Bagir Manan, Lembaga Kepresidenan, Gama Media, Yogyakarta, 1999, hlm. 15-17.
[11] Ibid.
[12] Ibid.
[13] Ibid.
[14] Douglas V. Verney, “Parliamentary Government and Presidential Government” dalam Arend Lijphart (ed), Parliamentary Versus Presidential Government, Oxford University Press, Oxford, 1992, hlm. 32-40. Lihat juga Jimly Asshidiqie, op.cit., hlm. 315.
[15] Jimly Asshidiqie, ibid.
[16] Ibid.
[17] Ibid.
[18] Douglas V. Verney, op.cit., hlm. 40-47.
[19] Bagir Manan, Lembaga Kepresidenan, op.cit., hlm. 40. Dan Jimly Asshidiqie, Pokok-Pokok Hukum ..., op.cit., hlm. 317.
[20] Lihat Susi Dwi Harijanti, “Sistem Pemerintahan Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945: Memperkuat Presidensialisme”.  Pasal 17 ayat (1): “Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara”, ayat (2): “Menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden”.
[21] Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2008, hlm. 415. 
[22] Sri Soemantri, 1969, Partai Politik, Sistim Kepartaian dan Sistim Pemilihan Umum di Indonesia, Jajasan Pendidikan Bunda, Bandung, hlm 37.
[23] Ibid.
[24] Lihat Miriam Budiardjo, loc.cit.
[25] Lihat Miriam Budiardjo, op. cit, hlm 416.
[26] Sri Soemantri, op. cit, hlm 37.
[27] Sri Soemantri, op. cit, hlm 37.
[28] Miriam Budiardjo, op.cit. hlm. 418.
[29] Ibid.
[30] Ibid,  hlm.  461-462.
[31] Jean Blondel, “Electoral Systems and the Influence of Electoral Systems on Party Systems” dalam Miriam Budiardjo, ibid. hlm. 461-462.
[32] Ibid.
[33] Arend Lijphart, “Patterns of Democracy:Government Forms and Performance in Thirty-six Countries”, Yale University Press, 1999, hlm. 153. 
[34] Dikenal dengan istilah “Parliamentary Treshold”
[35] Dikenal dengan istilah “Electoral Treshold”
[36] Lihat Pasal 9 Undang-undang Negara Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.
[37] Lihat Pasal 59 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. 
[38] Ibid, lihat Pasal 59 ayat (2).
[39] Benjamin Reilly, “Government Structure and Electoral System”, http://www.cic.nyu.edu/peacebuilding/oldpdfs/E20GovtStructureElectoralSystemsReilly.pdf, diunduh 30/03/2010, 17.33 WIB.
[40] Saldi Isra, “Simalakama Koalisi Presidensial”, http://www.siwah.com/pendidikan/marketing-politik/simalakama-koalisi-presidensial.html, diunduh 30/03/2010, 12.05 WIB.
[41] Scott Mainwaring, “Presidentialism, Multi-Party, and Democracy: The Difficult Equation”,  http://kellogg.nd.edu/publications/workingpapers/WPS/144.pdf, diunduh 30/03/2010, 17.44 WIB.
[42] Lihat Miriam Budiarjo, op.cit., hlm. 415.
[43] Jonathan Boston & Andrew Ladley, “Efficient Secrets: The Craft of Coalition Management” dalam Richard Albert, “The Fusion of Presidentialism and Parliamentarism ”, http://ssrn.com/1424084, diunduh 01/04/2010, 17.30 WIB.
[44] Jean Blondel, “Electoral Systems and ....” dalam Miriam Budiardjo, op.cit.  hlm 468.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Laporan Pertanggungjawaban Acara Gathering Pengurus PMK FH Unpad Periode 2013/2014

Tetap Setia Meski Melewati Ujian

Ringkasan Khotbah November 2020