Kontroversi Batalnya Kunjungan ke Negara SBY ke Belanda Ditinjau dari Perspektif Hukum Internasional (Bahan Diskusi Publik)

KONTROVERSI BATALNYA KUNJUNGAN KENEGARAAN SBY KE BELANDA
Ditinjau dari Perspektif Hukum Internasional[1]

Pada tanggal 5 Oktober 2010, publik Indonesia dikejutkan oleh pidato kenegaraan Presiden SBY dari Bandara Halim Perdana Kusuma yang menyatakan bahwa dirinya batal untuk melakukan kunjungan kenegaraan ke negeri Belanda. Menurut rencana, SBY sebagai kepala negara akan pergi ke Belanda untuk menghadiri undangan pertemuan yang diberikan oleh Ratu Beatrix dan perdana menteri  Belanda. Kunjungan yang telah direncanakan dari tahun 2007 tersebut mengagendakan pemberian pengakuan resmi Belanda atas kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 sesuai dengan persetujuan Comprehensive Partership yang dibuat oleh kedua negara; selama ini Belanda masih mengakui bahwa kemerdekaan Indonesia adalah pada tanggal 27 Desember 1949 (pada waktu Konferensi Meja Bundar). Kebatalan kunjungan SBY ke Belanda tersebut dipicu oleh adanya pengajuan tuntutan hukum dari aktivis Republik Maluku Selatan (RMS) ke salah satu pengadilan negeri domestik Belanda pada hari yang sama dengan waktu kedatangan SBY yang meminta pengadilan untuk mengeluarkan surat perintah penangkapan (arrest warrant) dan segera menangkap SBY sesampainya ia di Belanda atas tuduhan bahwa dirinya bersalah atas tindak pidana penyiksaan (torture) yang dilakukan oleh polisi Indonesia (Densus 88) terhadap aktivis RMS yang mengibarkan bendera RMS di tengah acara perayaan Hari Keluarga Nasional tahun 2007 silam di Ambon. Tindakan RMS tersebut membuat gusar SBY, sehingga ia pada akhirnya memutuskan untuk membatalkan kunjungannya ke Belanda dengan alasan untuk menjaga harga diri dan kedaulatan bangsa di luar negeri.
Keputusan kepala negara Indonesia tersebut sontak mengundang reaksi yang beragam di seluruh lapisan masyarakat. Para elit politik menyesalkan keputusan tersebut dan menyatakan bahwa seharusnya SBY tidak membatalkan kunjungannya ke Belanda dengan alasan bahwa hal tersebut malah akan counterproductive dengan kebijakan politik luar negeri Indonesia yang berupaya untuk memberantas RMS dan mempererat hubungan bilateral kedua negara. Namun demikian, banyak pula masyarakat yang berpendapat bahwa tindakan SBY tersebut sudah tepat demi mejaga harkat dan martabat bangsa di negeri asing.   Menurut survei yang dilakukan dalam minggu ini, diperoleh data bahwa sebesar 63% responden berpandangan bahwa keputusan SBY untuk tidak pergi ke Belanda sudah tepat, sementara itu 28% tidak setuju dengan tindakan SBY dan presentase sisanya menyatakan tidak tahu.
Kasus ini memunculkan berbagai macam pertanyaan dan permasalah hukum di dalam masyarakat, i.a.: tepatkah keputusan SBY untuk membatalkan kunjungannya ke Belanda? Apakah pengadilan Belanda dapat mengeluarkan arrest warrant untuk menangkap SBY atas tuduhan pelanggaran hak asasi  manusia? Apa status hukum dari RMS di forum pengadilan asing dan menurut hukum internasional? Mungkinkah seorang kepala negara yang sedang menjabat dapat ditangkap di luar negeri atas tuduhan pelanggaran hak asasi manusia?
Persoalan yang kontroversial ini menjadi isu yang sangat menarik untuk menjadi topik kajian akademik. Seperti halnya hukum yang memiliki banyak sisi, kasus ini pun bersifat multidimensional dan dapat dipadang dari perspektif yang beragam serta dianalisis oleh berbagai disiplin ilmu. Pada kesempatan ini, penulis hanya akan membahas kasus ini dari perspektif hukum internasional dan tidak menekankan pada aspek politik atau hubungan luar negeri Indonesia. Persoalan hukum yang akan dikaji melingkupi kajian hukum internasional (public international law), hukum pidana internasional, hukum hak asasi manusia dan hukum perang (humaniter).
Pemaparan ini meliputi empat bagian yang berhubungan dengan persoalan hukum yang muncul dalam kasus ini: bagian pertama membahas mengenai penyiksaan yang merupakan latar belakang utama yang menyebabkan SBY batal ke Belanda (akibat adanya tuntutan RMS di pengadilan domestik Belanda), bagian kedua memaparkan status hukum RMS dan tuntutan yang diajukannya, bagian ketiga yang merupakan inti dari topik in yang akan membahas tentang kekebalan kepala negara di forum pengadilan asing, dan bagian keempat yang berisi perspektif pribadi penulis mengenai kontroversi keputusan SBY tersebut. Pada akhirnya, keputusan SBY tersebut tidak dapat dinilai dengan definit: benar atau salah, tepat atau tidak tepat. Setiap keputusan yang diambil kepala negara memiliki pertimbangannya sendiri yang telah diperhitungkan secara politis.  


1.      Jaminan dan Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Indonesia: Penyiksaan Sejumlah Aktivis yang Mengibarkan Bendera RMS di Hadapan Presiden RI.
Human Right Watch dan Amnsety International melaporkan bahwa telah terjadi penyiksaan yang dilakukan oleh polisi Indonesia, i.e. Densus 88 kepada sejumlah aktivis yang mengibarkan bendera RMS. Penyiksaan tersebut didahului oleh proses persidangan yang tidak adil (no fair trial) dan semena-mena (arbitrary). Aktivis yang dianggap makar tersebut akhirnya  dipidana penjara lebih dari 10 tahun dan menjadi objek penyiksaan polisi yang telah tersistematis. Sampai detik ini, laporan NGO tersebut tidak diambing pusing oleh pemerintah, dan tidak ada pula upaya hukum untuk menyelesaikan kasus dugaan penyiksaan tersebut. Bila mengacu pada laporan kedua NGO tersebut maka muncul anggapan bahwa jaminan hak asasi manusia di Indonesia tidak diberikan oleh negara terhadap warganya sehingga pelanggaran berat HAM pun dibiarkan saja terjadi.
Tindakan penyiksaan yang dilakukan oleh Densus 88 tersebut masuk ke dalam definisi torture karena telah memenuhi semua unsur torture yang diatur menurut Konvensi Anti Penyiksaan (CAT) yang telah diratifikasi oleh Indonesia melalui UU No. 5 Tahun 1998, sebab tindakan yang tidak timbul dari penghukuman yang sah tersebut dilakukan dengan sengaja sehingga menimbulkan rasa sakit/penderitaan jasmani yang hebat dengan tujuan untuk menghukum, dan dilakukan oleh pejabat negara (state official). Dalam hukum internasional, pelarangan penyiksaan (the prohibition of torture) merupakan ius cogens i.e. the peremptory norm of international law atau norma tertinggi dalam hukum internasional, sehingga jaminan untuk tidak disiksa adalah absolut dan tidak dapat dikecualiakan dengan alasan apa pun. [pasal 4 ICCPR, Pasal 2(2) CAT]. Oleh sebab itu, terlepas dari tindakan makar (treason) yang dilakukan oleh aktivis RMS, seharusnya mereke tidak boleh dijadikan objek penyiksaan.
Penyiksaan merupakan tindak pidana internasional yang melahirkan kewajiban negara untuk memasukannya sebagai bentuk tindak pidana dalam sistem hukum pidana nasionalnya, melakukan penuntutan dan pengadilan atasnya, menghukumnya atau bahkan mengekstradisi pelaku yang berada di wilahnya ke negara lain yang akan menghukumnya bila suatu negara tidak melakukan penuntutan atas tindak pidana tersebut (dalam hukum pidana internasional hal ini disebut dengan aut punire aut dadera/ aut judicare aut dadere). Lebih lanjut tindak penyiksaan yang diatur dalam CAT pun melahirkan suatu konsep treaty-based-jurisdiction  yaitu yurisdiksi universal subsider (subsidiary universal jurisdiction.
Dalam kesempatan ini, penulis tidak bermaksud untuk menyimpulkan bahwa Densus 88 telah melakukan tindak pidana dan harus dihukum, namun apabila memang ada bukti permulaan yang kuat, maka seharusnya proses penuntutan dilakukan atas tindak penyiksaan tersebut. Namun, agaknya hal tersebut tidak mungkin dilakukan karena pemerintah tidak memiliki kesediaan (willingness) untuk menghukum pejabat negara yang dianggap sedang melakukan tugasnya dalam menjaga keutuhan dan kedaulatan NKRI.

2.      Tuntutan Hukum di Forum Pengadilan Asing atas Tindakan Pelanggaran Hukum internasional: RMS dan Tuntutan Hukumnya.
Alasan utama SBY datang ke Belanda adalah karena pengadilan Belanda memajukan jadwal persidangan atas tuntutan RMS untuk menangkap SBY yang dituduh telah melanggar HAM. Terkait dengan fakta tersebut setidaknya ada dua persoalan hukum yang timbul: apa sebenarnya status hukum RMS? Apakah pengadilan domestik Belanda memiliki yurisdiksi untuk memeriksa kasus ini?
RMS adalah organisasi politik yang dibentuk dengan tujuan untuk memerdekakan Maluku dari Indonesia karenanya ia dapat dikategorikan sebagai separatist group. Namun, RMS  bukan merupakan insurgent karena ia tidak menguasai suatu wilayah tertentu di Indonesia dan tidak pula melakukan konfrontasi bersenjata yang intense dengan tentara nasional setempat. Lebih lanjut, sudah dapat dipastikan bahwa RMS bukanlah belligerent (insurgent yang mendapat pengakuan dari negara yang ditantangnya) yang memperoleh status sebagai subjek hukum internasional. Oleh sebab itu, RMS tidak memiliki international legal personality yang kuat di mata hukum internasional. Di sisi lain, RMS sepertinya dianggap sebagai subjek hukum dalam pengadilan domestik Belanda. Hal ini dapat disimpulkan dengan diprosesnya tuntutan RMS yang diajukan ke pengadilan Belanda, karena apabila RMS tidak memiliki legal standing maka secara otomatis tuntutannya akan ditolak dalam preliminary proceeding di pengadilan.
Persoalan hukum yang kedua bersangkutan dengan yurisdiksi pengadilan Belanda dalam memeriksa kasus yang terjadi di Indonesia. Belanda sepertinya memiliki semacam undang-undang Alien Tort Claim Act (ATCA) yang dimiliki oleh Amerika Serikat yang memberikan yurisdiksi pada pengadilan domestiknya untuk mengadili suatu tuntutan yang diajukan oleh orang asing atas perbuatan melawan hukum internasional yang dilakukan di luar negeri. Sebenarnya persoalan fundamental yang masih belum jelas adalah tuntutan apa yang diajukan oleh RMS kepada SBY, tuntutan pidanakah atau malah tuntutan perdata. Pengadilan Belanda dapat memiliki yurisdiksi menurut ATCA versi Belanda bila RMS melakukan gugatan perdata, karena gugatan dalam ATCA identik dengan dimintanya ganti kerugian. Namun di sisi lain tidaklah dimungkinkan suatu proses peradilan perdata dapat mengeluarkan surat penangkapan untuk menangkap seseorang. Bila tuntutan RMS tersebut merupakan tuntutan pidana karena ada permintaan dikeluarkan arrest warrant, maka pertanyaannya adalah bagaimana pengadilan domestik Belanda memiliki yurisdiksi pidana untuk mengadili kasus ini. Jenis yurisdiksi yang paling dimungkinkan adalah yurisdiksi nasional pasif dan yurisdiksi universal karena tidak adanya foreign atau transnational element di dalam kasus ini. Namun demikian, tidak ada data yang menunjukkan bahwa korban penyiksaan tersebut adalah warga negara Belanda, dan di sisi lain, sepertinya sangatlah tidak mungkin Belanda memiliki keberanian untuk mengadili kasus ini berdasarkan yurisdiksi universal. Oleh sebab itu, masih ada missing link yang harus dipecahkan dalam mencermati kasus ini untuk dapat menentukan gugatan/tuntutan jenis  apakah (pidana/perdata) yang diajukan RMS ke pengadilan domesitik Belanda. Kekurangan akses terhadap data dan kesimpangsiuran informasi yang disampaikan media atau bahkan kekurangcakapan lawyer RMS memberi pengaruh terhadap kerancuan tuntuan RMS tersebut.

3.      Imunitas Kepala Negara di Forum Pengadilan Asing: Mugkinkah SBY ditangkap?
Kepala negara merupakan personalitas hukum suatu negara sebagai subjek hukum internasional yang sempurna (par exelence). Menurut kebiasaan internasional, kepala negaralah -bukan kepala pemerintahan- yang menjadi personalitas negara jika menyangkut hubungan luar negeri. Hal ini pun diakui oleh konstitusi Indonesia. Kepala negara acapkali dianggap sebagai refleski kedaulatan suatu negara (the sovereign holder cf kebiasaan Inggris) sehingga seluruh tindakannya merupakan tindakan negara yang berdaulat. (hal ini dikenal dengan konsep ius empirii, berbeda dengan konsep ius gestiones, i.e. ketika negara melakukan aktivitas komersial, tindakannya tersebut bukan merupakan tindakan berdaulat).
Doktrin kedaulatan negara menurut hukum internasional menyatakan bahwa suatu negara tidak boleh mengungguli kedaulatan negara lain (par im paren non habet imperium). Hal ini berdampak pada tindakan seorang kepala negara yang merefleksikan kedaulatan negara adalah mutlak dan tidak dapat diganggu gugat, meski pun tindakannya merupakan tindak pidana internasional (tidak dapat diganggu gugat atau konsep kekebalan ini dikenal dengan istilah exemption from jurisdiction). Oleh sebab itu, tindakan suatu kepala negara tidak dapat dituntut di forum pengadilan asing dan ia memiliki imunitas penuh atas yurisdiksi pengadilan di mana pun di seluruh dunia. Kekebalan ini termasuk ke dalam jenis personal immunity (bukan functional immunity yang dikenal dalam rezim hukum diplomatik dan konsuler cf. VCDR 1961, VCCR 1963, Antonio Cassesse dalam bukunya International Criminal Law).
SBY memiliki kekebalan yang penuh sebagai kepala negara yang sedang menjabat dan tidak perlu khawatir untuk ditangkap oleh polisi Belanda dan dibawa di depan persidangan setempat. Sebagai orang yang memiliki kekebalan personal, SBY bahkan memiliki kekebalan terhadap procedural matter berdasarkan hukum formil atau hukum acara, sehingga ia tidak dapat ditangkap, diperiksa atau dimintai keterangan. Hal ini berbeda dengan kekebalan fungsional (functional immunity) yang tidak immune terhadap procedural matter, namun pada akhirnya immune ketika memasuki proses pemeriksaan substantive matter.
Kebatalan SBY ke Belanda akan menjadi sungguh ironis apabila alasan yang dikemukakannya bersandar pada ketakutan dirinya untuk ditangkap oleh polisi Belanda. Penangkapan SBY atas tuduhan pelanggaran HAM adalah tidak mungkin. Pemerintah Belanda tidak akan mungkin membiarkan presiden Indonesia ditangkap dan menginjak-injak kedaulatan dan imunitas yang dimili SBY. Apabila Belanda melakukan hal tersebut, maka Belanda telah melakukan international wrongful act yang sangat berat, melanggar hukum kebiasaan internsional, bahkan dapat membuat Dewan Keamanan PBB mengeluarkan resolusi yang mengutuk tindakan Belanda tersebut dan mengkategorikannya sebagai threat to the peace atau bahkan breach of peace sesuai dengan Bab 7 Piagam PBB.
SBY tidak perlu takut bahwa dirinya akan diadili di forum pengadilan asing seperti halnya terjadi dalam kasus peradilan atas mantan Presiden Noriega di pengadilan Amerika Serikat atau mantan Presiden Pinochet di pengadilan Inggris. Selain itu, tidak ada alasan dirinya tidak mengunjungi Belanda karena alasan hukum khawatir bila akan dibawa ke pengadilan internasional i.e. International Criminal Court, karena Indonesia bukan pihak dalam Statuta Roma, dan lebih lagi, gugatan yang dilakukan RMS hanyalah sebatas dalam level pengadilan domestik. Jadi, menurut perspektif hukum internasional SBY tidak perlu membatalkan kunjungannya ke Belanda karena takut ditangkap dan dibawa ke pengadilan.
4.      Hukum Internasional vis a vis Politik Luar Negeri: Harga Diri Bangsa v. Posisi Tawar RMS.
Sengketa internasional pada dasarnya merupakan koin yang memiliki dua sisi; ada unsur hukum dan ada unsur politiknya. Itulah alasan munculnya 3 pandangan dalam hukum internasional mengenai perbedaan konsep antara sengketa hukum dan sengketa politik di antara para sarjana (lihat Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional dari Huala Adolf Bab 1). Kebatalan SBY ke Belanda tentu saja memiliki aspek politis yang sangat kental.
Para pihak yang menentang keputusan SBY dalam hal ini berpendapat bahwa pemabatalan itu malah meningkatkan posisi tawar RMS dalam mencari dukungan internasional. Lebih lanjut, akan lebih baik bagi harga diri bangsa Indonesia bila pada saat itu Presiden tetap melanjutkan lawatannya karena undangan dan agenda dengan Ratu Beatrix sudah lama dijadwalkan.  Selain menaikkan posisi tawar RMS, beberapa negara yang hampir sama dengan Belanda dalam berfokus pada penegakan HAM, seperti Swedia dan negara-negara Skandinavia ditakutkan juga akan memberikan penilaian yang sama kepada Indonesia sebagai negara yang tidak loyal pada penegakan HAM. Di samping itu, agenda di sana cukup penting sehubungan dengan pengakuan tertulis Belanda atas kemerdekaan Indonesia.
Pihak yang setuju dengan kebatalan SBY ke Belanda menganggap bahwa keputusan SBY tersebut sudah tepat dalam upaya melindungi harga diri bangsa dari ancaman gerakan RMS. Menurut mereka, seorang tamu negara akan menggadaikan harga diri bangsa jika berkunjung ke suatu negara pada saat negara itu melanggar sidang tuntutan terhadap tamu negara tersebut.
Kedua pihak yang berdebat mengenai dampak politis dari keputusan SBY tersebut telah mengungkapkan argumen-argumen yang membenarkan posisinya. Namun demikian, keputusan seorang kepala negara telah diambil dan tidak dapat diganggu gugat. Keputusan tersebut pasti memiliki dampak positf dan negatifnya. Di satu sisi kebatalan kunjungan SBY ke Belanda memang dapat menaikkan posisi tawar RMS; namun di sisi lain SBY mengambil keputusan tersebut untuk menjaga harga diri bangsa. Menurut saya keputusan SBY tersebut tidak dapat dinilai dengan definit: benar atau salah, tepat atau tidak tepat. Setiap keputusan yang diambil kepala Negara memiliki pertimbangannya sendiri yang telah diperhitungkan secara politis.




[1] Disusun oleh Novryan Pahlawan Sumharto, disajikan dalam Diskusi PMK FH UNPAD, Bandung 14 Oktober 2010.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Laporan Pertanggungjawaban Acara Gathering Pengurus PMK FH Unpad Periode 2013/2014

Tetap Setia Meski Melewati Ujian

Ringkasan Khotbah November 2020