Perlindungan Pulau-Pulau Terluar di Indonesia dalam Menjaga Keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia

                   United Nations Convention on The Law of The Sea (UNCLOS 1982) telah melahirkan delapan zonasi pengaturan (regime) yang berlaku di laut yaitu :
Wilayah Kedaulatan Negara
1.       Perairan Pedalaman (Internal Waters)
2.       Perairan Kepulauan (Archipelagic Waters)
3.       Laut Teritorial (Territorial Sea)
Yurisdiksi Khusus Negara
4.       Zona (Jalur) Tambahan (Contiguous Zone)
Tempat Melaksanakan Hak-hak Berdaulat atas Sumber Daya Alam
5.       Zona Ekonomi Eksklusif (Exclusive Economic Zone)
6.       Landas Kontinen (Continental Shelf)
Bagian yang Tidak Dapat Dimiliki Negara Manapun
7.       Laut Lepas (High Seas)
Bagian dari Warisan Bersama Umat Manusia
8.       Kawasan Dasar Laut Internasional (International Sea-bed Area)

Dengan adanya pembagian rejim di laut ini maka UNCLOS 1982 sendiri juga membatasi wilayah kedaulatan negara di perairan dengan definisi dan cara yang sudah diterima oleh masyarakat internasional. Perairan pedalaman bagi negara kepulauan seperti Indonesia berdasarkan pasal 50 UNCLOS 1982 adalah perairan yang terletak pada sisi darat dari garis-garis penutup pada mulut sungai, teluk atau pelabuhan yang terletak di perairan kepulauan. Sementara perairan kepulauan adalah perairan yang terletak di sebelah dalam dari garis pangkal lurus kepulauan. Maka laut teritorial adalah laut yang terletak di sebelah luar dari garis pangkal ke arah laut lepas, yang bagi negara Negara Kepulauan seperti Indonesia berada di sebelah luar dari garis pangkal lurus kepulauannya, dan lebar maksimumnya hanya sampai 12 mil-laut.
Dari sinilah kita mulai menemukan istilah pulau-pulau terluar bagi wilayah suatu negara kepulauan. Bahwa negara kepulauan berdasarkan pasal 46 (a) UNCLOS 1982 adalah negara yang wilayahnya terdiri dari satu atau lebih kepulauan dan dapat mencakup pulau-pulau lain. Kepulauan yang kemudian dijelaskan secara mendetail dalam huruf (b) adalah kesatuan dari gugusan pulau (termasuk bagian pulau seperti Kalimantan), perairan di antara pulau-pulau tersebut, dan wujud alamiah lainnya yang membentuk suatu kesatuan geografi, ekonomi, politik yang hakiki, atau yang secara histori dianggap demikian. Adapun Indonesia secara geografis adalah negara kepulauan maka dalam menentukan luas laut teritorialnya Indonesia menerapkan cara penarikan garis pangkal lurus kepulauan yang berupa garis-garis air terendah yang menghubungkan titik-titik terluar pada pulau-pulau dan karang kering terluar dari wilayah negara tersebut.
Maka pulau-pulau terluar yang termasuk dalam wilayah Indonesia sebenarnya adalah titik krusial dalam keutuhan wilayah NKRI, sebab pulau-pulau terluar telah menjadi titik-titik pangkal dalam menentukan sejauh mana luas laut teritorial. Kehilangan kedaulatan atas satu saja pulau terluar bagi Indonesia artinya juga mengurangi luas laut teritorial kita. Maka seperti yang dikatakan Laksamana Muda Puranwirawan Roshian Arsyad, seorang pensiunan TNI AL, bahwa pemerintah bersama-sama dengan rakyat harus memiliki keinginan dan pemahaman yang kuat untuk membangun maritim Indonesia. Beliau menyatakan dalam Indonesia Maritime Magazine edisi Juni 2011 bahwa setidaknya ada 3 (tiga) kepentingan di laut yang seharusnya disadari dan ditetapkan secara tegas.
Pertama, adalah bagaimana mengamankan dan mempertahankan laut. Indonesia sebagai negara kepulauan yang terletak pada posisi silang memiliki level benefisiensi yang tinggi yang harus kita kawal dan jaga bersama. Roshian Arsyad menceritakan bagaimana sulitnya mengatasi perompak-perompak yang mencoreng wajah Indonesia, khususnya yang terjadi di Selat Malaka. Kemudian bagaimana nelayan-nelayan dari Indonesia, Malaysia, dan Singapura sering melakukan pelanggaran batas laut yang disebabkan oleh persepsi yang berbeda dari para pihak mengenai batas teritorial negara mereka.
Kedua, adalah bagaimana mempertahankan kedaulatan Indonesia. Rasanya kita tidak akan pernah lupa bagaimana Pulau Ambalat, Sipadan, dan Ligitan lepas dari Indonesia dan menjadi milik Malaysia. Kedaulatan teritorial sebenarnya adalah hak yang menuntut kewajiban, artinya kedaulatan Indonesia atas Pulau Ambalat, Sipadan, dan Ligitan juga atas belasan ribu pulau-pulau lainnya menuntut suatu Effective Control dari pemerintah. Kenyataannya memang Malaysia yang lebih memperhatikan Sipadan-Ligitan dengan membangun mercusuar dan menjalankan bisnis peternakan penyu disana. Belajar dari pengalaman inilah, kita harus senantiasa mengingat dan mengamalkan  Advisory Opinion ICJ dalam Western Sahara Case bahwa aktivitas suatu negara dalam skala yang pantas, yang secara konklusif memperlihatkan pelaksanaan kewenangan, merupakan salah satu pertanda eksistensi kedaulatan teritorial.

Ketiga, adalah bagaimana memanfaatkan laut untuk kepentingan bangsa Indonesia dari sisi ekonomi dan kesejahteraan, bukan hanya melihat pemanfaatan terhadap isi lautnya tapi juga sebagai wadah dan posisi silang. Indonesia sebagai negara kepulauan yang terletak pada posisi silang, yang berarti posisi strategis yang menjadi tempat persinggahan negara tetangga, nyatanya belum secara efektif memanfaatkan kekayaan laut kita, malah negara tetangga yang lebih asyik menikmatinya.

Ketidakseriusan dan ketidakmengertian pemerintah dan masyarakat akan berbagai kepentingan Indonesia di laut inilah yang menimbulkan pengabaian pemerintah terhadap pulau-pulau terluar seperti dimuat dalam Indonesia Maritime Magazine edisi Mei 2011. Pertama, adalah masalah aksesibilitas dan jaringan transportasi. Pulau terluar atau biasa juga disebut dengan pulau terdepan cenderung terpencil sehingga akses dan mobilitas masyarakat terhambat. Kedua yaitu masalah kepemilikan. Keterbatasan infrastruktur dan ketersediaan sarana dan pra-sarana yang menunjang masyarakat setempat secara tidak langsung telah menghambat pendirian bangunan yang akan menandakan kepemilikan Indonesia atas bangunan tersebut.

Ketiga adalah masalah ekonomi yang berkaitan dengan aktivitas perdagangan. Terbatasnya jaringan transportasi ke pulau-pulau terluar secara langsung berpengaruh pada tingkat perekonomian dan pembangunan di daerah (pulau) tersebut. Bahkan mata uang yang digunakan masyarakat setempat kadang adalah mata uang negara tetangga dan bukan rupiah. Keempat adalah masalah keamanan, yang juga disebabkan oleh rendahnya aksesibilitas ke pulau terluar menyebabkan tingkat keamanan menjadi kurang.

 Ada satu cara yang mungkin tidak asing di telinga kita yang diperkenalkan oleh Direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau-Pulai Kecil dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) untuk mendayagunakan pulau-pulau terluar secara optimal dan memberikan dampak positif terhadap perekonomian masyarakat yaitu Investasi Pendayagunaan Pulau Kecil Terluar. Memang program investasi di pulau-pulau kecil yang terbuka bagi investor dalam dan luar negri, menurut Dr. Sudirman Saad, Dirjen Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (KP3K), sering disalahartikan oleh masyarakat bahwa pemerintah telah menjual atau menyewakan pulau terhadap pihak asing. Padahal tujuan program ini sebenarnya adalah mengembangkan pulau-pulau kecil terluar yang ada sesuai dengan UU Nomor 27/2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil serta PP Nomor 62/2010 Tentang Pemanfaatan Pulau-pulau Kecil Terluar.
Oleh karena itu sebagai masyarakat yang dewasa, kita tidak boleh menafikkan tujuan mulia yang hendak dicapai pemerintah melalui Program Investasi Pendayagunaan Pulau Kecil Terluar. Tapi juga sebagai masyarakat yang cerdas, kita juga patut mengawasi mekanisme dari pengembangan pulau-pulau kecil yang dipegang oleh Kementerian Kelautan dalam hal pemberian persetujuan dan juga oleh pemerintah daerah setempat dalam hal proses perizinan. Jangan sampai kepentingan pribadi atau kepentingan politik tertentu menodai amanat UU Nomor 27/2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil serta PP Nomor 62/2010 Tentang Pemanfaatan Pulau-pulau Kecil Terluar.
Lebih lanjut dinyatakan oleh Direktur Pendayagunaan Pulau-Pulau Kecil Ditjen KP3K KKP, Dr. Toni Ruchimat, dalam Indonesia Maritime Magazine edisi Juni 2011 bahwa dari 17.504 pulau di Indonesia, 99 persen adalah pulau-pulau kecil yang termarjinalkan namun memiliki ekosistem dan potensi yang luar biasa yang dapat dikembangkan secara bertahap melalui investasi. Contohnya adalah Raja Ampat yang merupakan pulau yang dikembangkan oleh pihak swasta dimana masyarakat setempat wajib dilibatkan untuk diperkerjakan, seperti karyawan resort, penyewaan boat, pelatih diving, dan lain-lain yang bertujuan mendorong roda perekonomian masyarakat setempat sekaligus mejadi pertanda eksistensi kedaulatan teritorial Indonesia melalui pelaksanaan wewenang pemerintahnya.
Ada beberapa solusi, berupa tahapan-tahapan langkah yang dapat diambil, yang saya tawarkan setelah melihat beberapa masalah yang kita hadapi terkait perlindungan pulau terluar yang secara langsung juga mempengaruhi luas wilayah laut kita. Pertama adalah harus adanya peran aktif pemerintah dan masyarakat dalam mengenal wilayah laut dan kepulauan Indonesia. Pemahaman yang cukup akan menimbulkan kecintaan dan rasa kepemilikan kita terhadap seluruh wilayah laut teritorial Indonesia. Kedua adalah keseimbangan porsi perhatian pemerintah terhadap isu kelautan. M. Zulficar Mochtar, Wakil Direktur Eksekutif Indonesia Maritime Institute, menyatakan bahwa paradigma dan cara berpikir pemerintah dan masyarakat Indonesia masih serba daratan sehingga mengesampingkan urusan kelautan. Urusan kelautan selalu dipandang identik dengan hanya urusan dan produksi perikanan. Apabila pemerintah dan masyarakat telah memahami konsep negara maritim yang sesungguhnya, seharusnya pemerintah dan masyarakat dapat menyadari manfaat yang dapat kita peroleh dan mulai berkonsentrasi juga terhadap pemanfaatan dan pengelolaan laut dan pulau-pulaunya.
Ketiga adalah pembangunan jaringan transportasi dan infrastuktur yang mendorong dan mendukung masyarakat dalam membangun daerah-daerah di pulau-pulau terluar. Pemahaman dan perhatian pemerintah akan potensi laut seharusnya mendorong pemerintah untuk menganggarkan dana pembangunan daerah-daerah di pulau terluar dalam rangka menegaskan kedudukan Indonesia atas pulau-pulau terluar dan wilayah laut yang di atasnya terdapat kedaulatan dan hak berdaulat Indonesia. Keempat adalah sikap dan langkah Indonesia untuk mengajak negara-negara tetangga mendiskusikan dan menegaskan batas-batas wilayah laut masing-masing dalam sebuah perjanjian bilateral.
 Ingatlah, bahwa setiap negara memiliki kedaulatan untuk melaksanakan eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan sumberdaya kelautan di wilayah kedaulatannya disertai dengan kewajiban untuk memelihara kelestarian lingkungan. Dengan kewenangan yang seluas ini dan juga manfaat yang begitu besar, negara mana yang tidak mau memiliki wilayah perairan yang begitu luas? Maka alangkah beruntungnya Indonesia dengan luas wilayah lautnya yang mencapai 5.8 juta km2 dengan garis pantai terpanjang di dunia yaitu 81.000 km dan Indonesia juga merupakan negara pemilik ZEE terbesar ketiga setelah Amerika dan Perancis yaitu 1.577.300 km2.  
“Adalah sebuah anugerah Indonesia menjadi negara maritim yang melimpah ruah kekayaan alamnya. Maka menjadi keputusan dan komitmen kita bersama jugalah, yatu pemerintah dan masyarakat, untuk menjaga keutuhan dan kelestarian laut kita.”

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Laporan Pertanggungjawaban Acara Gathering Pengurus PMK FH Unpad Periode 2013/2014

Tetap Setia Meski Melewati Ujian

Ringkasan Khotbah November 2020