TKI: Korban Tindak Pidana Perdagangan Manusia

        Permasalahan tentang Tenaga Kerja Indonesia (TKI) kembali digaungkan media massa di tanah air.. Kasus Ruyanti mengingatkan kembali bahwa permasalahan “para pejuang devisa” ini belum terselesaikan. Terlepas dari kesalahan yang dilakukan para tenaga kerja ini, mereka sering kali menjadi korban dari tindak pidana perdagangan manusia.[i] Para pekerja, terutama pembantu rumah tangga mengalami kondisi kerja yang sewenang-wenang: jam kerja wajib yang sangat panjang, penyekapan ilegal, upah yang tidak dibayar atau yang dikurangi, kerja karena jeratan hutang, penyiksaan fisik ataupun psikologis, penyerangan seksual, dan tidak diberi makan. Bahkan, beberapa majikan dan agen menyita paspor dan dokumen lain untuk memastikan para pembantu tersebut tidak mencoba melarikan diri.[ii]
Selain itu, ada korban yang dijanjikan mendapatkan pekerjaan yang tidak memerlukan keahlian di pabrik, restoran, industri cottage, atau toko kecil. Beberapa dari buruh migran ini berada dalam kondisi kerja yang sewenang-wenang dan berbahaya dengan bayaran sedikit atau bahkan tidak dibayar sama sekali. Kelompok paling rentan menjadi korban adalah perempuan dan anak.
Pengaturan hukum Indonesia mengenai kejahatan perdagangan manusia tersebar dalam beberapa peraturan perundang-undangan baik yang sifatnya umum maupun khusus, seperti: Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Undang-Undang No.21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, Undang-Undang No.13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
Undang-Undang No.21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang secara khusus telah mengatur perbuatan yang termasuk ke dalam jenis tindak pidana ini. Pengaturan ini juga mengatur mengenai pemberian perlindungan terhadap korban perdagangan manusia berupa: pemberian restitusi berupa ganti kerugian atas kehilangan kekayaan atau penghasilan, penderitaan, biaya untuk perawatan medis dan/atau psikologis, dan/atau kerugian lain.
Namun dalam pelaksanaannya pengaturan hukum ini belum menyelesaikan masalah. Faktor ekonomi dan kemiskinan merupakan salah satu penyebab. Robert K.Merton menyatakan bahwa setiap orang mendapat tekanan untuk mencapai sukses, tetapi mereka yang tidak dapat mencapai kesuksesan melalui cara-cara yang tidak dapat diterima berada didalam tekanan paling besar untuk menggunakan cara-cara atau kesempatan yang ilegal.[iii] Masyarakat memilih bekerja dengan segala resiko yang ada.
Para TKI tidak lagi mempedulikan cara-cara yang ditempuh -sesuai dengan prosedur yang berlaku atau belum- untuk mendapatkan pekerjaan. Berdasarkan data BNP2TKI jumlah penempatan TKI formal pada tahun 2011  sebanyak 458.103 orang. Dari jumlah tersebut di antaranya 192.618 (42,05%) TKI formal, dan 265.485 (57,95%) TKI informal.[iv] Para pekerja di sektor formal umumnya tidak mengalami kesulitan. Namun, untuk tenaga kerja sektor informal dan  melalui jalur tidak resmi mengalami hambatan untuk mengakses layanan dan perlindungan hukum dari Perwakilan RI di luar negeri. Biasanya mereka tidak melapor atau tidak diberikan kesempatan melapor oleh agen penempatan atau majikannya.
Perlindungan korban diartikan sebagai perlindungan hukum untuk tidak menjadi korban tindak pidana dan perlindungan untuk memperoleh jaminan/santunan hukum atas penderitaan/kerugian.[v] Langkah awal bisa dilakukan melalui pendidikan serta penyediaan lapangan kerja. Masyarakat harus disosialisasikan tentang pentingnya jalur resmi dalam perekrutan TKI.
Selain itu, mengoptimalkan penegakan  hukum di dalam wilayah Indonesia perlu dilakukan. Pidana seharusnya menimbulkan efek jera kepada oknum-oknum yang melakukan penyimpangan dalam proses perekrutan, pelatihan dan penempatan TKI ke luar negeri. Tindak pidana perdagangan manusia biasanya terjadi karena didukung dengan perbuatan pidana lainnya. Indikasi itu dimulai dari pemalsuan dokumen dari keluarga (suami atau orangtua), pemalsuan Kartu Tanda Penduduk (KTP), hingga manipulasi sertifikat kesehatan. Penegakan hukum yang tegas sangat dibutuhkan. Pengawasan pemerintah serta pelaporan dari masyarakat juga akan mendukung agar tindak pidana ini tidak menjamur.
Perlu diingat, kerjasama antara negara juga diperlukan untuk menyelesaikan permasalahan ini. Hal ini disebabkan karena kejahatan perdagangan manusia sudah mencakup lebih dari satu wilayah negara   Segala upaya diatas tidak akan terwujud jika tida ada komitmen yang kuat dari negara. Kesadaran masyarakat pun harus ditingkatkan guna melengkapi tugas negara dalam mewujudkan perlindungan hukum bagi rakyat Indonesia.


[i] Lihat pengertian korban dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban  dan pengertian perdagangan orang dalam UU Undang-Undang No.21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
[ii] Sumber: media cetak (surat kabar) dan media online berhubungan dengan kasus-kasus TKI.
[iii] Yesmil Anwar dan Adang, Kriminologi, Refika Aditama, Bandung, 2010, hlm. 88.                                                                                                                    .
[iv] Data dari Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (berdasarkan data posisi bulan Februari 2011), diakses dari http://bnp2tki.go.id/ .
[v] Barda Nawawi Arief , Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan, Jakarta: Kencana, 2007, hlm.61.

Ditulis Oleh: Lasma Natalia (FH Unpad 2008,PK Hukum Pidana)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Laporan Pertanggungjawaban Acara Gathering Pengurus PMK FH Unpad Periode 2013/2014

Tetap Setia Meski Melewati Ujian

Ringkasan Khotbah November 2020