Dua Wajah Media Jejaring Sosial Internet
Desa dunia, begitulah sebutan dunia di era globalisasi dan informatika saat ini. Sebuah kesimpulan yang ditarik sebagai bias dari kemajuan teknologi. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah mempengaruhi setiap bidang dan aspek kehidupan; politik, ekonomi, sosial budaya, keagamaan, kesenian, dan lain-lain. Pada beberapa dekade terakhir, perkembangan Teknologi Komunikasi dan Informatika sangat luar biasa cepat dan pengaruhnya cenderung tidak bisa dihindari. Kemajuan dibidang internet merupakan salah satunya, yang melahirkan sistem atau gaya komunikasi baru yang disebut dengan media dan jejaring sosial. Adapun yang merupakan media sosial adalah Twitter, Facebook (FB), Skype, Blackberry Messenger (BBM), Yahoo! Messenger (Y!M), blog, dan sejumlah media informasi online lainnya.
Bentuk-bentuk interaksi yang disuguhkan dalam media sosial, seperti video call, chatting, tak bisa dipungkiri memberikan banyak kemudahan dan manfaat positif dalam kehidupan. Bagaimana media sosial dapat memungkinkan dua atau lebih orang berkomunikasi interaktif secara realtime tanpa terikat oleh jarak. Ada juga teknologi media jejaring sosial dimana kita bisa tahu keadaan seseorang dengan berbicara dan melihat lawan bicara kita tanpa harus bertemu, seperti Skype dan layanan 3G.
Besarnya sumbangsih yang telah diberikan media sosial kepada masyarakat dunia secara umum patut diakui. Namun tidak bisa dipungkiri juga, bahwa besarnya kemudahan dari kemajuan teknologi yang telah kita nikmati, di dalamnya terdapat juga dampak yang patut diwaspadai dan merupakan tantangan tersendiri bagi penggunanya.
Di Indonesia sendiri misalnya, bentuk interaksi yang ditawarkan media sosial bertolak belakang dengan pola masyarakat kita yang berbentuk gemeinschaft, yaitu pola masyarakat yang ditandai dengan hubungan anggota-anggotanya yang bersifat pribadi, sehingga menimbulkan ikatan yang sangat mendalam dan batiniah, yang ditandai dengan ciri-ciri masyarakat yang homogen, hubungan sosialnya bersifat personal, saling mengenal, serta adanya kedekatan hubungan yang lebih intim. Bila ditarik lebih dalam lagi, budaya komunikasi baru media sosial, secara kasat mata telah membentuk kelas-kelas sosial baru. Interaksi dalam media sosial seolah ingin mengatakan “ada uang ada interaksi”. Bagi beberapa orang mungkin pandangan ini sangat berlebihan, tapi sejauh yang kami amati fenomena saat ini memang seperti itu adanya.
Kita pasti sudah tidak asing lagi dengan fenomena berikut; “Ting-tung, Cica langsung mengambil Blackberry (BB) nya. Tertawa sesaat, mengetik sesuatu, lantas tertawa lagi. Di kesempatan lain, sebut saja Mekar, sedang mojok di sebuah warnet dan sedang khusyuk mengupdate status facebook (FB). Biar gak kuper katanya.” Perlu diperhatikan, alasan yang diucapkan Mekar—biar gak kuper—merupakan salah satu indikator ketidakcerdasan dan ketidaksiapan sebagian masyarakat kita terhadap media sosial. Bisa jadi Mekar merupakan salah satu korban media sosial. Seperti yang dikatakan Felix Wilfred bahwa (teknologi) globalisasi seringkali menampilkan bentuk dalam kemasan yang luar biasa cantik dan gemerlap, namun seringkali menyembunyikan kejahatan yang hanya dapat dikenal oleh mereka yang menjadi korban (Felix Wilfred, Basis No 05-06 1996). Apalagi saat ini peran media sosial telah mengalami perluasan, yaitu dimana media sosial merupakan salah satu indikator eksistensi seseorang.
Ada juga keadaan seperti ini:
“Sialan! Nyebelin banget deh! Bete, bete, bete ! “
“Manajemen konflik seperti yang dicontohkan dalam Kejadian 13 : 1-18; duduk bersama, bicarakan, tawarkan hakmu terlebih dahulu. Dan ketika kau menawarkan hakmu terlebih dahulu, maka kau tidak akan merasa rugi. Karena Tuhan akan selalu mencurahkan berkat-Nya bagi orang yang rindu membawa perdamaian. Selamat beraktivitas ”
Itu adalah dua contoh status yang kita baca di media jejaring sosial Facebook dan Twitter. Melalui teknologi ini seseorang bisa men-shared apapun yang dia mau. Entah itu perasaan, pemikiran, kejadian yang dialami, semuanya bisa dipublish sehingga orang lain yang membacanya bisa tahu, bahkan mengomentari atau sekadar menyukai apa yang ditulis.
Sayangnya dewasa ini, penggunaan media sosial yang tidak bertanggung jawab juga banyak kita temukan. Misalnya dalam beberapa kasus pengunggahan video porno, pornografi dalam teks, penyebaran kata-kata yang tidak sopan, hingga kriminalitas merupakan dampak negatif dalam penyalahgunaan media sosial yang perlu diwaspadai.
Semua hal yang merupakan dampak negatif dari media sosial, tentu tidak akan terjadi jika tidak ada pihak-pihak yang menyalahgunakan fungsi sejati dari media sosial, yaitu sebagai sarana berekspresi dan berinteraksi, tentunya secara bijak dan sopan. Semuanya kembali kepada pilihan pengguna, seperti yang dicontohkan di atas. Hal ini tentu saja dapat diciptakan dengan tetap memperhatikan khasanah budaya kita. Pada titik inilah, nilai-nilai Kekristenan kita aplikasikan dan dijadikan kiblat dalam segala bidang kehidupan.
Ada beberapa usulan yang dapat dijadikan pertimbangan dalam meminimalisir dampak negatif media sosial. Sebagai pemuda Kristen, setidaknya kita bisa memulai dari diri kita sendiri dalam menanggulangi dan menjembatani dampak baik dan buruknya. Pertama, tidak semua hal yang ditawarkan teknologi adalah baik dan merupakan kebutuhan, jadi kita perlu melakukan filterisasi terpaan teknologi. Bersikaplah selektif terhadap memilih media sosial dan segala sesuatu yang ada di dalamnya. Hal lain yang bisa dilakukan, tidak harus sesuatu yang besar, katakanlah semacam puasa media sosial seminggu, kalau masih cukup berat, batasi pada salah satu media sosial yang Anda pakai, misalnya puasa Facebook seminggu.
Kita juga bisa menjadi pembaharu dalam media sosial, caranya dengan berbagi nilai-nilai Kekristenan melalui status dan postingan-postingan dalam bentuk lain. Pastikan dengan membaca status atau apapun yang kita shared di jejaring sosial, orang lain merasa terberkati. Dari salah satu contoh di atas tadi misalnya, kita bisa menjadi lebih tahu tentang manajemen konflik, atau kita merasa status tersebut ngena ke keadaaan yang kita alami. Bukankah ini hal yang positif. Disini kami tidak mengatakan, bahwa setiap status harus berisi ayat-ayat Alkitab. Tetapi yang ingin kami sampaikan disini adalah bagaimana status tersebut bisa memberkati pembacanya. Supaya tidak menjemukan, kita juga bisa menulis status yang berisi humor, kata-kata bijak, kata-kata motivasi, cerita-cerita bodor, apapun itu yang bisa memberikan hal-hal positif. Akan lebih baik jika umpatan, omelan, kekesalan itu diganti menjadi kata-kata yang ‘enak’ dan ‘berharga’ dibaca oleh orang lain. Contoh terakhir, ada seorang pendeta, yang menjadi dosen di salah satu perguruan tinggi. Pendeta tersebut benar-benar menggunakan teknologi komunikasi maya ini untuk hal-hal yang positif. Statusnya berisi kata-kata yang ngena di (permasalahan) kalangan pemuda. Apalagi banyak note yang ditulisnya di Facebook telah memberkati banyak orang. Bahkan kesaksian pendeta ini telah sampai ke mancanegara. Yang jelas, pastikan diri kita telah memiliki fondasi Alkitab (firman TUHAN), sehingga apa pun yang ditawarkan kehidupan, dalam hal ini adalah media sosial, benteng iman kita telah siap.
Kehadiran media sosial, apapun bentuknya, seyogyanya dapat digunakan secara baik dan bertanggung jawab. “Hidup kudus bukan dengan menolak teknologi dan anti modernitas, tetapi mengadaptasinya sesuai dengan nilai-nilai budaya dan Kekristenan kita.”
Salam, P2K UNPAD Bidang Humaniora (IMKK FIKOM UNPAD dan PMK FASA UNPAD).
(Sebuah artikel dari IMKK FIKOM dan PMK FASA Unpad)
sumber: www.pmkunpad.org
Komentar
Posting Komentar