Negara Hukum yang Main Hakim Sendiri

            Tentunya belum lekang dari ingatan kita mengenai peristiwa-peristiwa kekerasan terhadap jemaat Ahmadiyah yang begitu marak menghiasi media massa beberapa waktu lalu. Sementara itu pemerintah terkesan tidak terlalu tanggap terhadap peristiwa-peristiwa tersebut. Tentu saja hal ini menimbulkan publik bertanya-tanya, sebenarnya apakah hal tersebut dibenarkan, kendati Ahmadiyah dianggap menyimpang dari agama Islam.
Kemerdekaan memeluk agama atau kepercayaan mengandung dua dimensi, yaitu dimensi intern manusia (manusia sebagai pribadi) dan dimensi ekstern (hubungan antar pribadi).[1] Dimensi intern berupa  hak setiap pribadi untuk memilih agama yang sesuai dengan keyakinan atau kepercayaannya. Oleh karenanya tidak dapat diintervensi atau dipaksakan oleh pihak lain. Sedangkan dimensi ekstern manusia berupa hak untuk melaksanakan ibadah (ritual) menurut ajaran agamanya masing-masing. Dimensi ekstern tidak boleh mengganggu individu yang lain atau harus memperhatikan hak-hak orang lain, sebagai pembatas kemerdekaan atau kebebasan individu. Jadi kemerdekaan memeluk agama atau kepercayaan mencakup dua aspek yaitu, kemerdekaan untuk memeluk dan kemerdekaan untuk memanifestasikan.      
Mempercayai agama atau serangkaian kepercayaan (dimensi intern) jarang sekali menimbulkan isu Hak Asasi Manusia (HAM). Masalah muncul ketika hak-hak itu dimanifestasikan (dimensi ekstern). Agama seringkali dimanifestasikan melalui berbagai bentuk ibadah dan tidak menunjukkan ketaatan atau penyimpangan. Seringkali juga hal tersebut dilakukan bersama-sama dengan orang lain yang memiliki kepercayaan yang sama, sehingga kebebasan beragama seringkali melibatkan hak kelompok. Inilah yang menurut penulis sebenarnya terjadi pada kelompok Ahmadiyah, yang ditentang oleh beberapa ormas Islam lainnya, karena dianggap menyimpang dalam memanifestasikan agamanya. Di sinilah hukum menjadi relevan, yaitu ketika kepercayaan tersebut diekspresikan dan dimanifestasikan.[2]
Agama itu sendiri memiliki esensi sebagai kumpulan kepercayaan yang mengatur ketentuan-ketentuan tertentu bagi hidup. Memeluk agama atau kepercayaan sendiri merupakan HAM. Kemerdekaan tersebut merupakan HAM yang bersifat pribadi (personal rights).[3] Dalam teori HAM, hak tersebut merupakan bagian dari hak sipil dan politik atau yang disebut hak generasi pertama. Hak ini sangat tergantung pada absen atau minusnya campur tangan negara. [4]
            Pengaturan mengenai hak ini sendiri merupakan pengaturan terhadap perlindungan HAM, yang tidak hanya diatur dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, melainkan juga dalam konvensi-konvensi internasional. Sila pertama Pancasila menjamin kemerdekaan beragama bagi setiap orang, dimana setiap orang bebas memilih dan menjalankan ajaran agamanya masing-masing.[5] Pengakuan atas sila pertama dijabarkan dalam rumusan pasal 29 ,28 E, dan 28 I UUD 1945. Sedangkan dalam konvensi internasional kebebasan setiap orang untuk beribadat kepada Allah dengan caranya sendiri dimanapun di dunia merupakan salah satu dari the four freedom of Roosevelt.[6] Hak ini juga diatur dalam pasal 18 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik dan pasal 6 Deklarasi PBB. Dengan demikian jaminan negara terhadap kemerdekaan penduduk untuk memeluk agamanya dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu benar-benar  ditegaskan, sehingga tidak hanya merupakan HAM (human rights) tetapi juga merupakan hak konstitusional warga negara (the citizen constitutional rights).[7]
            Penulis menentang keras terhadap kekerasan yang dialami oleh jemaat Ahmadiyah. Hak untuk berkeyakinan dan memanifestasikan keyakinan tersebut merupakan satu kesatuan hak konstitusional warga negara yang harus dilindungi oleh negara, serta HAM yang bersifat non-derogable rights. Jika Ahmadiyah dianggap menyimpang dari agama Islam sekalipun, tidak bisa pemerintah terlalu ikut campur dalam permasalahan keyakinan, dengan menyatakan mana aliran yang benar/salah. Akan tetapi pemerintah dapat membatasi dengan aturan yang berlaku apabila ternyata ada manifestasi dari suatu agama/keyakinan yang mengganggu ketertiban umum. Pemerintah harus menindak tegas setiap pelaku kekerasan terhadap Ahmadiyah, karena peran pemerintah terkait HAM adalah to respect, to protect, and to fulfill. Indonesia adalah negara hukum, jadi biarlah hukum yang memutuskan dan bukan justru main hakim sendiri yang berlaku.

ditulis oleh: Maria P. Stephfanie F. Winoto, Mahasiswi FH Unpad 2008, PK Hukum Tata Negara.


[1] H. Rosjidi Ranggawidjaja, Kemerdekaan Memeluk Agama: Hak Kemanusiaan Pribadi yang Mutlak dan Terbatas, dalam buku Dimensi-Dimensi Hukum Hak Asasi Manusia, Pusat Studi Kebijakan Negara Fakultas Hukum Unpad, Bandung, 2009, hlm.79.
[2] Philip Alston dan Frans Magnis-Suseno,  Hukum Hak Asasi Manusia, PUSHAM UII, Yogyakarta, 2008, hlm.106.
[3] Dickson, B., The United Nation Freedom of Religion, Jurnal International and Comparative Law Quaterly, 1995, hlm.327
[4] Philip Alston dan Frans Magnis-Suseno, Op.Cit., hlm.15.
[5] Ramdlon Naning, Cita dan Citra Hak-Hak Asasi Manusia di Indonesia, Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia, Jakarta, 1983, hlm.32.
[6] Franklin Delano Roosevelt, The four Freedom, disunting Diane Revitch and Abigail Therstrom (ed), dalam buku Demokrasi Klasik dan Modern, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2005., hlm. 207
[7] Jimly Asshidiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, PT  Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, 2007, hlm.616.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Laporan Pertanggungjawaban Acara Gathering Pengurus PMK FH Unpad Periode 2013/2014

Tetap Setia Meski Melewati Ujian

Ringkasan Khotbah November 2020